Langit di Menara Talawang

Langit Palangka Raya sore itu seperti kanvas yang diwarnai pelan-pelan. Jingga, keemasan, sedikit merah muda, semuanya menyatu indah. Sersan Satria, tentara yang sedang  bertugas dan datang dari Surabaya, duduk di bangku taman Bundaran Besar. Di depannya, menara baru menjulang gagah, memantulkan cahaya senja—Menara Talawang.

“Hah… ini menara beneran? Kayak portal ke dunia lain,” gumam Satria.

“Kayak gerbang ke kota modern yang viral itu?” suara dari sampingnya menyahut dengan tawa kecil.

Satria menoleh. Reno, teman sesama tentara yang sudah lama berdinas di Palangka Raya, duduk santai sambil menyeruput es kuwut yang dibelinya dari penjaja makanan yang berderet rapi tak jauh dari kawasan menara.

“Lah, lo juga ngerasa gitu?” Satria tertawa.

Reno mengangguk. “Pertama kali lihat setelah selesai pembangunan itu langsung mikirnya ke nama itu, yang konon katanya kota yang sangat modern. Menara ini bikin jatuh cinta. Megah banget.”

“Jujur, gue pikir bakal ngebosenin datang ke sini. —Tapi ternyata… “