Si Hitam Manis dari Timur

Si Hitam Manis dari Timur

Kata mereka menjadi seorang polisi itu pakai uang. Sampai-sampai, Bapak pun melarang saya menjadi seorang polisi wanita sehingga akhirnya nasib saya sempat berkahir di Pasar  Jayapura. Hal itu bukan tanpa sebab, aku memutuskan untuk kuliah dan membantu biaya dengan berjualan menjadi pilihan bagi orang kurang seperti kami.

Jika ada jadwal kuliah, saya siapkan beberapa tandang pisang untuk dibawa ke Pasar Sentani. Jarak tempuh dari Blitung ke Pasar Sentani lumayan jauh. Berkendara bisa memakan waktu kurang lebih dari dua jam. Setiap pagi sebelum ke kampus, saya singgah ke pasar Sentani. Di pasar itulah saya menjajakan pisang hasil dari kebun milik Bapak.

“Pagi sekali ko datang,” ucap salah satu Mam yang jualan pinang.

“Iya, mama. Biar saya tidak terlambat ke kampus. Hari ini, dosennya galak.” Saya duduk di tanah beralaskan sisa-sisa kardus, sambil mengatur pisang-pisang yang saya bawa dengan motor.

“Ko itu kuat juga. Tra malu jualan di pasar?” ucap Mama-Mama yang begitu menikmati kunyahan pinang di dalam mulutnya.

“Saya tra malu, Mama. Yang penting halal.”

“Iyo, itu sudah. Semoga ko berhasil, tapi ingat ko jangan jadi orang sombong kalau sudah berhasil eh ….”

Sejak saat itu, saya mulai dikenal sebagai penjual pisang atau kelapa di pasar sentani. Setiap mau ke kampus, saya pasti membawa hasil kebun untuk dijual. Panas dan hujan tidak jadi halangan untuk saya ke kampus dan jualan di pasar.

Namun, Tuhan selalu indah mengatur jalan hidup hamba-Nya sehingga kini, saya, Bripka Treslinda Hamokwarong dari Pengunungan Bintang, Papua ke Ibu Kota setelah kembali menerima sprint yang ternyata saya ditugaskan Stasiun di Tv BTV dan Jakarta TV. Di stasiun Tv tersebut, saya ditugaskan untuk memberikan informasi tentang keadaan lalu lintas seluruh Indonesia.